Jogjapedia
Kehancuran Industri Gula di Jogjakarta (Bagian Kedua)
Paska kemerdekaan, Indonesia dipandang sebagai sasaran empuk bagi pemodal asing. Sebagai suatu negara yang baru merdeka, Indonesia, pikir pemodal asing, pasti membutuhkan mereka untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Namun, mereka mendadak sanksi setelah ada peristiwa yang cukup mengejutkan selama agresi militer Belanda 1949 di Jogjakarta.
Kisah ini bermula ketika pemerintahan dipindah ke Jogjakarta karena Agresi Militer Belanda. Dipindahnya ibu kota dan Sukarno-Hatta ke Jogja memancing pergerakan Belanda ke Jogjakarta. Pada 1949 meletuslah perang sengit di Jogja melawan Belanda. Saat perang tersebut, rakyat, yang turut mengangkat senjata menghancurkan hampir semua pabrik gula warisan Belanda di Jogja.
Menurut catatan Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta warga menemukan saluran amarah dengan menghancurkan 15 pabrik gula di Jogjakarta. Hanya dua yang dibiarkan berdiri, yaitu milik seorang Katolik yang sangat dihormati warga dan yang digunakan Angkatan Udara Indonesia. Alasan lain yang membuat rakyat menghancurkan pabrik ini adalah adanya kecurigaan bahwa penanaman modal asing merupakan usaha asing untuk kembali menjajah Indonesia. Pandangan ini barangkali dipengaruhi oleh para pemimpin Indonesia saat itu, khususnya Sukarno.
Dalam Buku ulang tahun ke-1 DPR-DIJ, dituliskan bahwa ada Oktober 1951 para pemodal asing Belanda meminta izin untuk membangun kembali 15 pabrik gulanya yang dihancurkan rakyat. Permintaan itu disanggupi dengan sejumlah syarat. Pihak pemerintah Jogja menyanggupi dengan kontrak delapan tahun dengan dua syarat yang menurut pemodal Belanda terlampau sulit dipenuhi. Adapun dua dari 11 syarat yang sulit itu adalah:
- Perusahaan harus berkomunikasi dan memelihara hubungan dengan masyarakat pedesaan tentang kebutuhan tenaga kerja.
- Upah diberikan setelah ada kesepakatan dengan sarikat buruh yang telah ada sejak pabrik itu berjalan kembali.
Perusahaan Belanda kala itu kesulitan memenuhi tuntutan. Perusahaan tahu betul bahwa rakyat pedesaan masih menyimpan kebencian terhadap mereka. Pada akhirnya perusahaan Belanda berkesimpulan bahwa ini hanyalah penolakan secara halus bagi tawaran mereka. Pada 1956, Walikota Jogja, Soedarisman Poerwokoesoemo dalam peringatan ulang tahun Jogja ke-200 menyampaikan pidatonya soal penanaman modal asing paska tawaran pembangunan kembali pabrik gula.
Dalam pidatonya ia menyampaikan bahwa Jogja saat itu belum bisa menerima adanya pengusaha asing yang datang lagi dan menjalankan pabrik mereka. Sebab masih banyak rakyat yang keberatan dengan kedatangan mereka.