Home » Jogjapedia » Kehancuran Industri Gula di Jogjakarta (Bagian Pertama)

Jogjapedia

Kehancuran Industri Gula di Jogjakarta (Bagian Pertama)



Dokumen Wikimedia

Pada awal abad ke-20, Jogjakarta memiliki banyak perkebunan tebu yang dikelola berbagai perusahaan Belanda. Ekonom Belanda, G.H van der Koff dalam Batavia, Java mencatat bahwa pada masa itu Jogjakarta memiliki sekitar 17 perkebunan tebu yang tiap perkebunannya dikelola perusahaan milik Belanda.

Berbeda dengan industri gula lain di Indonesia, pengelolaan industri gula di Jawa memakai sistem usaha kembar. Artinya perusahaan Belanda menanam sendiri tebu di tanah yang disewakan lalu digiling di pabrik gula mereka. Sistem ini menghasilkan industri gula di Jawa terbagi menjadi dua bagian yang berbeda: perkebunan dan pabrik.

Adanya banyak perkebunan Belanda saat itu di Jogja merupakan dampak dari penerapan politik agraria sejak 1870.Ditambah lagi, sebagaimana dituliskan dalam Lembaran Negara Hindia Belanda pada 1857 seperti yang diceritakan Selo Soemardjan, bahwa pemegang tanah di Kraton (Surakarta dan Jogjakarta) diperbolehkan menyewakan tanah bagi pemodal namun tidak boleh melebihi hak pemegang tanah tersebut.

Adapun jangka waktu penyewaan tanah tersebut selama 20-30 tahun. Dengan adanya kebijakan tersebut artinya Belanda mendapat keistimewaan untuk mewakili Sultan dalam menarik pajak dalam bentuk barang dari rakyat. Namun Belanda tidak tertarik dengan pajak barang, rakyat juga merasa senang karena tidak lagi ditarik pajak. Sebagai gantinya Belanda membuat sistem glebagan untuk mengadakan giliran penanaman gula di tanahnya. Rakyat wajib kerja keras sebagai pengganti pajak yang dihilangkan. Pada masa itu industri gula banyak terdapat di Sleman, Bantul, dan Kulon Progo. Sebab daerah itu memiliki tanah yang subur dan irigasi terbaik.

Penderitaan rakyat Jogja seolah berakhir saat kedatangan Jepang. Kepercayaan akan ramalan Jayabaya tentang kedatangan Jepang yang membebaskan mereka dari penderitaan jadi sebabnya. Begitu juga yang diharapkan oleh warga yang dipakasa kerja keras di pabrik gula Belanda. Namun, lagi-lagi rakyat tertipu propaganda Jepang sebagaimana yang dilakukan Belanda ketika membebaskan Pajak barang.

Masa pendudukan Jepang ini industri gula di Jawa dan Jogjakarta mengalami penurunan. Jepang kekurangan tenaga ahli dalam mengelola pabrik gula. Sekalipun banyak modal yang ditanamkan pihak swasta Jepang dalam Togyo Rengokai industrinya tidak semassif zaman Belanda. Apalagi banyak pabrik yang dialihfungskan sebagai tempat penyimpanan senjata. Dari sini, pabrik gula sudah mulai mengalami kemunduran sebelum akhirnya dihancurkan paska revolusi.

Facebook Twitter Share on Google+