Home » Berita, Jogja » Lantunan Kidung Pujayanti di Perayaan Malam Satu Suro

Budaya

Lantunan Kidung Pujayanti di Perayaan Malam Satu Suro



Para abdi dalem membawa bendera merah putih dan Kraton saat mubeng benteng, Sabtu (25/10) dini hari. (Foto: Cahyo PE)

Jawa adalah pulau upacara. Tiap daerah, wilayah, dari perkotaan hingga ke pelosok desa punya banyak ritual dan upacara tertentu yang lestari hingga kekinian. Dari sekian banyak upacara di tanah Jawa, perayaan malam satu suro jadi salah satu yang terbesar.

Malam satu suro sekaligus menjadi pergantian tahun dalam kalender Jawa. Di Jogja, yang tak luput dari ratusan upacara, gelaran ini diperingati oleh ribuan warga Jogja bersama Paguyuban Abdi Dalem Kaprajan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama Kawula Mataram, Sabtu (25/10) dini hari di Alun-Alun Utara.

Perayaan ini ditandai dengan mubeng benteng yang diikuti ratusan warga dan sejumlah paguyuban. Mubeng benteng diawali doa oleh abdi dalem Kraton. Seusai doa, rombongan berjalan mengelilingi benteng Kraton dengan urutan cucuk lampah Sang Saka Merah Putih, bendera gula kelapa, klebet Bangun Tolak (Jogja), klebet Mega Ngampak (Sleman), klebet Pareanom (Kulonprogo), klebet Pandan Binetot (Bantul), klebet Podang Ngisep Sari (Gunungkidul), barisan abdi dalem lalu diikuti warga.

Para perserta topo bisu mubeng beteng berjalan dari alun-alun utara melalui Jalan Kauman, Jalan Wachid hasyim, Pojok Benteng Kulon, Gading, Pojok Benteng wetan, melalui Jalan Brigjen Katamso, menyusuri Jalan Ibu Ruswo, Jalan Pekapalan dan berakhir di Keben.

Sementara menunggu kirab, pihak penyelenggara menyiapkan dua gunungan yang nantinya akan diperebutkan warga. Ketika peserta kirab sampai di tempat gunungan, pihak abdi dalem bersama sejumlahpaguyuban melantunkan Kidung yang menyayat hati. Banyak warga yang terdiam tatkala mendengarkan kidung berjudul Kidung Pujayanti yang dilantunkan Romo Tri. Bahkan ada pula yang meneteskan air mata. “Bersyukur sama yang kuasa, mendengarkan lagu itu saya ingat segala kesalahan saya,” terang padiman (58) warga Wonosari.

Kidung ini sendiri berisi tentang pujian pada pencipta alam yang telah dan dengan harapan terus memberikan kedamaian di muka bumi. “Semoga Jogja damai terus dan dilindungi di tahun suro ini,” tambah Soesmin (60) dari pihak penyelenggara.

Usai kidung, warga mulai berebut gunungan yang telah disiapkan. Selain gunungan, warga juga berebut bunga melati yang dipakai untuk hiasan para romo yang memimpin ritual. “Filosofinya bunga melati itu simbol keharuman dan berkah,” jelas. Farid Wibowo dari Paguyuban Diponegaran yang juga turut memimpin upacara.

Facebook Twitter Share on Google+