Home » Jogjapedia » VOTP: Proyek Tembakau di Jogja Paska Kemerdekaan

Jogjapedia

VOTP: Proyek Tembakau di Jogja Paska Kemerdekaan



Pekerja tembakau meletakan daun tembakau di rumah fermentasi (Dok UGM)

Paska kemerdekaan Jogjakarta mengalami masalah ekonomi yang cukup pelik. Banyak rakyat yang masih melarat meski tak lagi di bawah bayang-bayang pemerintah kolonial. Kondisi ini sebenarnya bisa lekas diperbaiki jika rakyat menerima bantuan modal asing yang ditawarkan oleh pengusaha Eropa. Namun, rakyat yang masih trauma atas kependudukan Belanda dan Jepang menolak bantuan tersebut. Mereka menaruh curiga terhadap adanya bantuan modal asing.

Sementara itu pemerintah pusat mau menerima modal asing tanpa keterikatan politik. Menganggap bahwa bantuan modal asing mampu mempercepat perbaikan ekonomi negara, Sri Sultan lalu membujuk rakyat dan menjamin bahwa bantuan modal asing ini tidak akan merugikan rakyat. Karenanya, rakyat mulai membuka diri atas bantuan tersebut tapi tetap menolak para pengusaha Belanda yang ingin mendirikan kembali pabrik tebunya di Jogja.

Sri Sultan HB IX bersama pemerintah membatasi kekuasaan pemodal asing. Mereka tidak bisa mengambil kebijakan dalam perusahaan tanpa melibatkan wakil rakyat dalam badan eksekutif dan legisatif. Dalam memulai upaya perbaikan ekonomi di Jogja dengan bantuan modal asing, Sri Sultan sendiri yang menjadi pelaksananya di lapangan. Menurut penelitian Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta dalam tahap awal Sultan tidak mendirikan industri baru namun menghidupkan kembali perusahaan pertanian dan perkebunan yang hancur selama perang dunia. Dengan begitu Sultan mudah mendapatkan tenaga ahli.

Proyek pertama yang dilirik Sultan adalah perkebunan tembakau. Di zaman kolonial, tepatnya pada 1930an, Belanda memunyai tiga perusahaan tembakau besar di Jogjakarta yang hasil produksinya dikirimkan ke Amsterdam. Saat itu para petani tembakau tak punya ruang untuk mengembangkan perkebunannya.Pihak Belanda membuat suatu kebijakan bernama ordonasi krosok, yang mewajibkan para petani perorangan meminta izin ketika ingin menamam tembakau.Belanda juga membatasi tembakau yang ditanam. Saat Perang Dunia (PD) perusahaan tersebut ditutup. Penutupan ini bisa dbilang berkah bagi para petani perorangan. Mereka tidak lagi wajib izin dan masih bisa memasarkan tembakau mereka ke pasaran dalam negeri.

Mereka mendapat perhatian khusus dari Sultan HB IX. Memulai proyek tembakau ini, Sultan mengumpulkan para petani di tiap desa lalu mengorganisasikannya. Sultan juga mencarikan pasaran dalam negeri untuk memasarkan produksi mereka dan membentuk pusat penjualan tembakau. Tahun 1954 rencana Sultan ini disetujui oleh lembaga legislatif daerah kemudian dibentuklah suatu badan bernama Vak Organisasi Tani Primair (VOTP) yang beranggotakan para petani di tiap desa.

Sejak saat itu hanya petani dalam VOTP yang diperbolehkan menanam tembakau dan bukan perseorangan. Pemerintah juga memberikan kredit bagi para petani tembakau dalam VOTP di tiap desa. Kebijakan ini menarik para petani di desa lain dan berdampak pada pendirian organisasi serupa di sejumlah Desa hingga akhirnya menghidupkan perkebunan tembakau di Jogjakarta.