Home » Berita, Jogja » Jogja Asian Film Festival ke-9 “Lawan” Budaya Patriarki

Budaya

Jogja Asian Film Festival ke-9 “Lawan” Budaya Patriarki



Beritajogja - Festival Film Asia ke-9 atau yang dikenal dengan Jogja Asian Film Festival (JAFF) digelar di Jogjakarta pada 1-6 Desember 2014. Festival film yang bekerjasama dengan Netpac dan digagas oleh sejumlah sutradara beken macam Garin Nugroho dan Ifa Ifansyah ini bertemakan Re-gazing at Asia atau Menatap Ulang Asia.

Dok.Jaff 2014

Budi Irawanto, Direktur Festival, menjelaskan pemilihan tema ini untuk lebih mengenalkan peranan penting sutradara dan produser perempuan. Selama ini para sutradara dan produser perempuan dinilai Budi memajukan perfilman di Asia dengan mengangkat kesetaraan dalam setiap film yang mereka buat.

“Sejumlah film itu, mengangkat tentang kesetaraan perempuan. Tema ini juga akan memperlihatkan bagaimana sudut pandang patriarkal di Asia akan dilawan melalui film,”tuturnya, Jumat (28/11) siang ditemui di sebuah restoran.

Selain itu Budi menjelaskan perbedaan Jogja Asian Film Festival dengan festival lainnya. Jogja Asian Film Festival, jelasnya, itu hanya memutar film dari Asia dan ada tema tertentu. Meski mempertontonkan film yang tak populer, JAFF kerap diserbu ribuan pecinta film. “Kita juga mengalami peningkatan kualitas dengan penyeleksian sejumlah film dari Asia yang masuk. Dari 18 negara di Asia totalnya sekitar 75 film. Banyak juga yang sudah memesan tiket nonton buat Jogja Asian Film Festival. Kalau jumlah penonton sendiri kira-kira 5000an penonton” tambahnya.

Netpac Asian Festival akan dibuka dengan film berjudul Like Father Like Son yang disutradarai oleh Hirokazu Koreeda. Film ini sendiri akan berkutat pada masalah patriarki di keluarga Jepang yang sudah membudaya selama berabad-abad. Sedangkan yang menjadi penutup adalah film Bang Joon - Ho dari Korea Selatan. Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan bioskop XXI sendiri akan menjadi tempat digelarnya JAFF pada 1-6 Desember 2014 mendatang.

“Meskipun film Like Father Like Son itu disutradari oleh laki-laki, namun kritik terhadap budaya patriarkal bersumber dari sudut pandang perempuan,” ujarnya.