Home » Berita, Nasional » Di Balik Penutupan Dolly

Penutu[an Dolly Surabaya

Di Balik Penutupan Dolly



Istimewa

“Ada nggak perempuan miskin yang mau jadi pelacur. Mereka masuk ke prostitusi sudah didorong, distimulir, dibuat sedemikian rupa. Mereka dibuat tidak punya posisi tawar,” kata Joris Lato.

Joris Lato adalah pendamping pekerja seks di lokalisasi Dolly, Surabaya, yang baru ditutup pertengahan Juni lalu. Rabu (2/7) lalu, Joris menceritakan pandangannya dalam “Agama dan Masyarakat” KBR68H.

Joris percaya tak ada satupun di antara perempuan pekerja seks Dolly yang pernah bercita-cita bekerja di situ. Joris juga menyayangkan sikap masyarakat yang hanya ribut soal pelacuran, tapi bukan kemiskinan. “Kita sering bicara dampak pelacuran, tapi jarang bertanya kenapa orang jadi pelacur,” kata Joris.

Menurut Joris, cara pandang setengah itulah yang membuat penutupan Dolly jadi terkesan diburu-buru. Penutupan tidak memberikan apa-apa selain masalah baru. “Ketika Dolly ditutup, yang terjadi adalah teori balon. Dipencet di sini, muncul di sana,” kata Joris.

Penutupan Dolly telah menyisakan empat masalah bagi pekerja seks di sana: fisik, sosial, psikologis, dan ekonomi. Secara fisik misalnya masalah penyakit kelamin atau HIV/AIDS, secara sosial misalnya penerimaan masyarakat sekitar, soal psikologis adalah adalah apakah pekerja seks siap dipulangkan, dan soal ekonomi adalah pekerja seks yang kehilangan pekerjaan.

Kata Joris, masalah itu tidak selesai hanya dengan kompensasi Rp500 ribu . “Pertanyaan saya, ada nggak orang yang dengan modal 500 ribu saja dia bisa survive?” kata Joris.

JM Muslimin, sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah, setuju dengan Joris. Muslimin juga percaya bahwa masyarakat perlu melihat ke akar agar masalah prostitusi betul-betul tuntas. “Pendekatan ke akar masalah akan membuatnya lebih progresif,” kata Muslimin.

Muslimin melihat penutupan lokalisasi di banyak tempat memang kerap menggunakan dalil agama. Padahal kata Muslimin ini bukan soal moral hitam putih. “Kalau agama yang dipersepsikan jadi khotbah, tak bisa selesaikan masalah,” ujar Muslimin lagi.

Kata Muslimin, penutupan ini didukung pula oleh kelompok agama reaksioner yang tidak menawarkan solusi apapun. Menurut Muslimin, kelompok reaksioner ini hanya melihat aspek hukum hitam putih. Mereka tidak mempertimbangkan asas manfaat dan mudharat penutupan Dolly.

Menutup Dolly dengan stigma dan stereotip tidak menyelesaikan apa-apa. Muslimin mengatakan ini bukan masalah sosial semata, dan karenanya tidak cocok ditangani hanya oleh Kementerian Sosial. Dia membayangkan penyelesaian yang mendalam lewat penguatan ekonomi dan pendidikan, di mana kelompok agama bisa ikut berperan.

“Ini jangan semata-mata dilihat dari sisi pekerjaan, atau manusianya dipandang dalam tanda petik nista. Ini adalah problem kemanusiaan. Yang bekerja di situ juga manusia, punya hak-hak, keinginan, dan hak hidup layak,” jelas Muslimin.

Di sisi lain, kata Muslimin, masyarakat masih memperlakukan koruptor secara ‘terhormat’. Sementara masyarakat gemar menghujani pekerja seks dengan stereotip dan stigma. “Ini harus dihindari. Sama dengan koruptor, pekerja seks ini manusia juga,” kata Muslimin.

 

Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di Jakarta: 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB, Jogja: 103.3 FM Tisaga FM, NTB: 107.4 FM Talenta FM. Sulawesi Selatan: 102.5 FM Bulukumba FM dan 92.5 FM RAM Radio

Facebook Twitter Share on Google+