Interaksi
Opini Pembaca: Mengenal Nazhar, Menolak Taaruf
Pacaran itu (idealnya) seperti puasa. Meminjam penjelasan Emha, pacaran merupakan pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Saya yakin tidak semua orang─yang pacaran akan mengarah atau bakal bertindak zina seperti asumsi kebanyakan Ustaz yang mengarang buku Pink berjudul Udah Putusin Aja. Sebab, manusia memiliki perilaku yang berbeda-beda. Manusia juga memiliki benteng keimanan-Nya sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada manusia yang sama satu sama lain.
Namun, harus diakui untuk membendung hasrat sangatlah sulit. Meski demikian, saya tetap berkeyakinan bahwa tidak semua orang akan kalah dalam usaha pembentengan keimanan tersebut. Bukankah perihal penghakiman manusia dan perihal keimanan hanyalah hak Allah SWT semata? Dalam Al-Qur’an juga tidak disebutkan secara tegas pelarangan atau pengharaman pacaran.
Banyak Ustaz menawarkan solusi untuk menjauhkan diri dari zina. Tak usah pacaran kata mereka. Dan solusi yang paling banyak dipakai untuk menjauhkan, atau saya lebih suka menyebutnya mengendalikan zina, adalah taaruf.
Kata taaruf (li ta’arufi) memang terdapat dalam Al-Qur;an. Tepatnya pada Surah Al-Hujurat ayat 13. “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku li ta‘ârafû (supaya kamu saling kenal). …. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat tersebut memiliki pengertian yang umum, yaitu diserukannya pada manusia agar mau bersahabat dengan manusia lainnya tanpa melihat asal-usul atau latar sosial manusia. Ayat tersebut bukan merujuk pada suatu hal yang bersifat khusus, seperti perkenalan laki-laki dan perempuan semata untuk tujuan pernikahan. Namun, dalam realitas kontemporer, istilah ta’aruf dalam ayat tersebut menjadi bengkok dan mengalami penyempitan makna..
Imam Bukhari Meriwayatkan sebuah hadist dari Ibnu Abbas “Sesungguhnya Habibah binti Sahl adalah istri Tsabit bin Qais, telah menghadap kepada Nabi, SAW. Ia Berkata, ketika saya menikah dengannya (Tsabit Bin Qais), Tampaklah apa yang tidak aku ketahui pada malam pengantin kami. Aku pernah melihat beberapa orang laki-laki, namun suamiku adalah lelaki yang paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya. Tidak ada satu kebagusanpun yang aku temui pada dirinya.
Aku tidak mengingkari kebagusan Akhlak dan agamanya, Ya Rasulullah, tetapi aku takut menjadi kufur bila tidak bercerai dengannya. Aku takut jika terus menerus bermaksiat padanya karena ketidaktaatan pada suami dan aku tahu itu menyalahi perintah Allah SWT. Maka aku ingin bercerai darinya. Maka Rasulullah SAW bersabda “Maukah engkau mengembalikan kebun-kebunnya? Ia menjawab “Iya”.. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada Tsabit, “Ambil Kembali Kebun itu, dan Thalaqlah Istrimu satu kali”.
Kenapa Habibah menuntut cerai? sebagaimana tradisi Arab yang senantiasa menjodohkan anak gadisnya dengan laki-laki pilihan walinya. Sehingga Habibah belum mengenal benar calon suaminya tersebut. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Namun setelah menjalani rumah tangga, muncul banyak hal yang membikin Habibah menyesali keputusannya.
Oleh karena itulah kemudian Rasul menganjurkan kepada setiap yang akan menikah untuk melakukan Nazhar. Nazhar adalah proses melihat atau menelisik atau menelusuri apa yang bisa membuat tertarik pada orang yang akan dinikahi. Bukan ta’aruf, yang kini dimaknai perkenalan, kemudian pertemuan, hingga berlanjut pada pernikahan.
Sebagaimana Sabda Rasulullah yang dituturkan oleh Jabir Ra. Rasulullah SAW pernah bersabada “Jika salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, sementara ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya”. Jabir kemudian berkata “Aku lantas melamar seorang wanita yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi aku lihat hingga aku memandang apa yang mendorongku untuk menikahinya”
Nazhar boleh dilakukan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Terbuka artinya pihak laki-laki mengatakan langsung pada pihak perempuan untuk mengenalnya lebih jauh hingga muncul sebuah keyakinan menikahinya. Jika pihak perempuan tidak menginginkan laki-laki mengenali dirinya, maka pihak laki-laki tidak boleh melanjutkan Nazhar.
Secara sembunyi-sembunyi, artinya laki-laki hanya menjadi pengamat saja tanpa mengatakan langsung pada pihak perempuan. Namun, ketika pihak perempuan tidak mengingkan adanya pernikahan setelah laki-laki melakukan Nazhar, maka hal tersebut tidak boleh dipaksakan.
Nazhar tidak hanya dipahami sebatas melihat bentuk fisiknya, tetapi juga bisa pada hal lain yang sifatnya umum. Misalnya, kecerdasannya, ketekunanya atau hal lain yang bisa mendorong kita untuk menikahinya. semua ini bisa dilakukan dengan melihat aktivitas kesehariannya. tanpa harus merepotkan diri melakukan Ta’aruf.
Islam tidak pernah mencantumkan Ta’aruf dalam proses pernikahan. Nabi tidak pernah mencontohkan apalahi memerintahkan. Nabi hanya menganjurkan kita untuk Nazhar (melihat) apa sekiranya yang bisa membuat kita tertarik pada orang yang akan kita nikahi.
Meski demikian, apa yang saya utarakan tidak lebih dari penawaran konsepsi biasa. Sama seperti apa yang ditawarkan oleh Ustaz yang kerap berdakwah diTwitter. Kebenaran dalam konsepsi tersebut bersifat samar, karena kebenaran hanyalah milik Allah SWT. Manusia hanya bisa meraba kebenaran kemudian menawarkan konsepsi hasil pemikirannya.
Allahumma Muafiq ila Aqwamit Thariq
Kalangjati Saleh Muhammad