Opini Pembaca
Opini Pembaca: Menyoal Makna Keadilan dalam Pendidikan
Kasak-kusuk pelaksanaan UjianNasional (UN) di Indonesia terasa seksi untuk dibahas terutama bagi kalangan pendidik. Setidaknya ada dua kubu dalam hal ini yaitu kubu yang setuju UN dilaksanakan dengan segudang alasan diantaranya sebagai alat ukur keberhasilan siswaberdasar ketentuan yang terdapat dalam pasal 67 PP Nomor 32 Tahun 2013 dan kubu lain yang tidak kalah kencang suaranya yaitu kubu yang menentang bahkan ingin agar UN dihapus karena dianggap tidak menyentuh aspek afektif dan psikomotorik namun hanya menyentuh nilai kognitif saja.
Ketika kita mencoba membaca keadaan mental siswa di Indonesia yang terkesan akan berhadapan dengan malaikat maut dalam menghadapi UN. Nampaknya persentase kelulusan 60% dari Ujian Sekolah dan 40% dari Ujian Nasional belum mampu meredam ketakutan siswa. Hal ini tercermin dari kasus salah satu siswa yang bunuh diri yang disinyalir akibat putus asa setelah mengerjakan soal UN. Sehingga tidak heran ketika niat baik pemerintah dalam meningkatkan taraf pendidikan di tanah air terbentur oleh para pemerhati pendidikan yang menyoal makna keadilan pendidikan tersebut.
Saya jadi teringat saat bertemu dengan salah satu siswa di Jerman yang hampir merampungkan jenjang SMA ketika dulu masih menempuh studi di Jerman. Ketika saya tanya bagaimana kabar studi dan rencananya setelah lulus SMA, dia menjawab bahwa “saya harus belajar keras karena untuk lulus sekolah dan masuk universitas tidak mudah di sini”. Lalu bagaimana jika pertanyaan yang sama ditanyakan kepada siswa-siswa di Indonesia. Tentu kita bisa memprediksi kata kunci yang akan terucap. Jika boleh menafsirkan jawaban dari salah satu siswa Jerman itu, dia sebenarnya juga berkata, “hak saya dipenuhi kok, maka wajar dong saya memenuhi kewajiban!”.
Pendidikan di Jerman bermotto “land of ideas” ini memiliki standar yang tinggi dalam pendidikan dan itu semua ditunjang dengan fasilitas yang memadai di setiap sekolah. Sehingga dengan adanya “quality control” yang bermakna sekolah yang tidak mampu menyelenggarakan pendidikan yang baik maka harus siap-siap ditutup. Ini menjadi salah satu faktor utama penyebab pendidikan di Jerman unggul di kancah dunia. Quality control ini harus menjadi cambuk bagi pemerintah dalam menghadapi permasalahan klasik yaitu masih kurang meratanya kualitas pendidikan di Indonesia.
Sebagai Negara kepulauan kualitas pendidikan masih berpusat di pulau Jawa, sedang kualitas pendidikan di luar Jawa masih jauh dari yang diharapkan. Lalu bagaimana ketika soal UN disamakan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Apakah hasil survei internasional seperti PISA dan TIMSS yang menempatkan pendidikan Indonesia di deretan juru kunci menjadi alasan pemerintah agar siswa mati-matian belajar dengan segala keterbatasan yang ada. Maka penting kiranya jika pemerintah lebih fokus pada upaya peningkatan fasilitas sekolah,pemerataan kualitas pendidikan, dan kesejahteraan guru.
Budi Sugandi,
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana di Marmara University, Istanbul-Turki dan pernah menempuh pertukaran pelajar di Technische Universitat Braunschweig, Jerman.