Home » Interaksi » Resensi Buku: Pendidikan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan

Resensi

Resensi Buku: Pendidikan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan



Judul Buku : Pendidikan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan.

Penulis : Mukhrizal Arif dkk.

Penerbit : Ar-Ruzz Media.

Tempat, Tahun terbit: Yogyakarta, 2014.

Tebal buku : 348 hlm. 17×24 cm.

 

Dokumen Ar Ruzz

Pendidikan di negeri ini tidak mengalami banyak perubahan meski setiap berganti kabinet, kurikulum mengalami penyempurnaan, pembaharuan, bahkan perombakan. Meski secara tertulis kurikulum telah banyak mengalami perubahan, pelaksanaan pendidikan masih tetap seperti itu. Pendidikan di Indonesia tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik namun sebaliknya.

Teori-teori pendidikan yang seharusnya dijadikan bahan analisis, atau dijadikan pertimbangan, untuk menjadikan pendidikan di Indonesia berjalan ke arah yang lebih baik sudah sepatutnya terjadi. Teori pendidikan lahir dari orang-orang besar dengan segudang pengalaman dan profesi, bukan dari rakyat kecil yang buta huruf dan tidak pernah menyentuh pendidikan sama sekali. Dari situ, tawaran konsep pendidikan yang seperti apa yang layak diterapkan untuk mempersiapkan tunas bangsa menjadi masyarakat yang berkepribadian luhur, adalah tawaran dari orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan langsung. Bukan orang yang hanya berangan-angan bahkan omong kosong belaka.

Munculnya teori pendidikan dari teori barat, timur, bahkan dalam negeri, yang sangat banyak mustahil untuk menerapkan semua teori itu ke dalam konsep pendidikan di Indonesia. Namun, berbagai teori dari tokoh-tokoh pendidikan dunia sebagian kecil dirangkum dalam buku ‘pendidikan posmodernisme: telaah kritis pemikiran tokoh pendidikan’ oleh Mukhrizal Arif dkk. Dengan harapan buku ini dapat dijadikan bahan analisis oleh pemerhati pendidikan maupun pemerintah yang sering kali kurang serius dalam merombak kurikulum pendidikan.

Pendidikan oleh pemerintah diseragamkan, disamakan, padahal kebutuhan antar peserta didik tidak seragam, bahkan Indonesia sangat beragam suku, budaya, dan agamanya, sehingga pendidikan di negeri ini tidak bisa disamaratakan. Salah satu teori pendidikan yang tidak sepakat dengan penyeragaman karena sama halnya tidak memperhatikan localwisdom, adalah ‘pendidikan posmodernisme’ yang merangkum berbagai teori pendidikan dari tokoh-tokoh dalam dan luar negeri yaitu Jurgen Habermas, Ivan Illich, Michel Foucault, Antonio Gramsci, Alexander Sutherland Neill, Ahmad Dahlan. Hasyim Asy’ari, RA Kartini, Rohana Kudus, MZ Abdul Madjid, Mansour Fakih, YB Mangunwijaya, Ahmad Syafi’I Maarif, Muhammad Abduh, dan Muchtar Buchori.

Pandangan Jurgen Habermas tentang pendidikan misalnya, antara lain: perlunya kegiatan yang bersifat kooperatif dan kolaboratif, diskusi, belajar mandiri melalui pengalaman dan fleksibel, perlunya belajar yang berkaitan dengan komunitas, pemecahan masalah, hak anak didik untuk berbicara, dan perlunya guru untuk bertindak sebagai pendorong kritik ideologi. Pemikiran Ivan Illich, filosof yang melahirkan konsep ‘masyarakat tanpa sekolah’, yaitu tujuan pendidikan adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan ilmu dan mendapatkan ilmu.

Teori pendidikan Michel Foucault berkaitan dengan relasi konsep-konsep pendidikan dan kekuasaan. Lebih jelasnya Foucault menerapkan konsep pendidikan dialog, bukan sekedar transmisi dengan paksaan menerapkan ilmu pengetahuan kepada murid.

Antonio Gramsci selain pemikirannya yang melahirkan teori Marxis, juga melahirkan teori pendidikan yaitu hegemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan Negara kapitalis dan pentingnya pendidikan buruh popular untuk mendorong perkembangan intelektual dari kelas pekerja. Alexander Sutherland Neill melahirkan teori pembebasan dalam lingkungan sekolah. Bagi Neill sekolah yang menyuruh anak-anak duduk tenang dibangku, mempelajari bidang-bidang studi yang tidak dibutuhkan peserta didik adalah sekolah yang buruk. Jika para filsuf lain hanya menuliskan gagasan pendidikannya dalam tinta dan kertas, Neill telah menerapkannya dalam sebuah sekolah pembebasan di Summerhill School.

KH Ahmad Dahlan, pendiri sekaligus tokoh Ormas Muhammadiyah mempunyai peran penting dalam pendidikan di Indonesia. Namun apakah konsep Ahmad Dahlan masih berlaku hingga detik ini ?. bagi Ahmad Dahlan, dalam proses pembentukan karakter peserta didik, guru harus bersabar. Tidak ada murid ‘rewel’ melainkan ekspresi kreatif yang butuh bimbingan. Selanjutnya buku yang diterbitkan Ar-Ruzz Media ini juga mengungkan konsep pendidikan dari tokoh Ormas Nahdlatul Ulama yaitu KH Hasyim Asy’ari. Hasyim Asy’ari mengungkapkan teori pendidikannya dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’alim Fima Yabtaj al-Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaffu’allim Fi Maqamat Ta’limih (etika pengajar dan pelajar dalam hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pelajar sesama pelajar).

Menurut Hasyim Asy’ari tujuan diberikannya pendidikan pada setiap manusia ada dua yaitu menjadi insane purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Tuhannya dan Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dari berbagai teori yang diungkap diatas dapat ditarik kesimpulan bahawa pendidikan posmodernisme yang dialami masyarakat dewasa ini perlu memperhatikan aspek-aspek pendidikan. Contohnya guru sebagai mediator dalam menyampaikan pelajaran, murid sebagai obyek utama yang menuntut ilum, ilmu itu sendiri, lingkungan tempat dimana belajar itu berlangsung baik lingkungan budaya, maupun sosial ekonomi yang sedang berkembang, serta kebutuhan setiap individu belajar yang beragam. Sebagai pelaksana maupun pemerhati pendidikan sudah seharusnya mempertimbangkan hal-hal demikian, disamping kebutuhan zaman yang terus berkembang dan tidak bisa dibendung juga kebutuhan masyarakat hari ini berbeda dengan masyarakat zaman dahulu. Seperti yang diungkapkan oleh Agus Nuryatno, “para pendidik harus memahami bahwa filsafat pendidikan dapat memberikan sesuatu yang berbeda dalam wawasan dan aktivitasnya. Hanya saja ini tidak berarti bahwa pendidik harus menerima pemikiran filsafat apa adanya. Mereka harus tetap menguji pemikiran filsafat pendidikan sesuai dengan konteks dan kondisi sosial. Ketika kondisi berubah maka perspektif dan wawasan juga harus diuji kembali”.

Dengan kata lain, tokoh-tokoh pendidikan yang melahirkan konsep-konsep pendidikan seperti RA Kartini, Rohana Kudus, MZ Abdul Madjid, Mansour Fakih, YB Mangunwijaya, Ahmad Syafi’I Maarif, Muhammad Abduh, dan Muchtar Buchori, memiliki latar belakang sosial kebudayaan yang berbeda dengan hari ini. Sehingga teori dan konsep yang ditawarkan dalam buku ‘Pendidikan Posmodernisme’ bukanlah panutan utama, melainkan sebagai bahan analisis. Mungkin sebagian besar dari konsep pendidikan yang diungkapkan masih bisa menjawab kebutuhan pendidikan di Indonesia hari ini.

Namun, beberapa butir harus dibuang karena tidak tepat apabila diterapkan dalam pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan yang lahir dari filsuf barat. Conto kecil, RA Kartini yang mengungkap pendidikan perempuan, dimana perempuan harus mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan juga sudah tidak tepat jika diterapkan dalam pendidikan Indonesia hari ini. Zaman sudah berubah, pendidikan di Indonesia sudah sama rata sejak proklamasi di kumandangkan tidak ada lagi perbedaan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan.

Buku ini kurang tuntas dalam mengungkap tokoh-tokoh pendidikan posmodernisme karena terlalu banyak tokoh-tokoh pendidikan yang diungkapkan. namun buku patut dibaca bagi pemerhati maupun pelaksana pendidikan seperti kepala sekolah, maupun guru yang langsung bersentuhan dengan pendidikan. Apakah dengan kurikulum terbaru pendidikan di Indonesia sudah dapat menjawab semua kebutuhan masyarakat terutama peserta didik? apakah dengan motede pembelajaran yang masih itu itu saja sejak zaman colonial hingga hari ini masih tepat diterapkan hari ini?

 

Ica S. Ahmad Yani

Peneliti dan pemerhati pendidikan di Magister Manejemen Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pengurus DPD KNPI Kota Yogyakarta.

Facebook Twitter Share on Google+