69 Tahun Indonesia Merdeka
Cerita Si Mbah Masa Pendudukan Jepang di Jogjakarta
“Nippon iku ngapus-ngapus mbiyen. Jare arep ngewangi Bung Karno, tapi malah ngerampok. Mateni wong seng ra ngerti opo-opo. Jaman iku ngeri (Jepang itu pembohong. Katanya mau membantu Bung Karno, tapi malah merampok. Membunuh orang yang tidak mengerti apa-apa),” cerita Soebekti (79), warga Sindumartani ketika ditemui di rumahnya, Sabtu (16/8).
Mbah Bekti, demikian sapaan akrabnya, tak ingat banyak tentang masa pendudukan Jepang di Jogjakarta. Apa yang diceritakannya hanya penggalan cerita pedih yang ia rasakan ketika kecil dulu. Tak mau lagi laki-laki yang kini hidup sendiri ini melanjutkan ceritanya. Pahit, ujarnya, kala diminta mengingat cerita lain tentang Jepang.
“Pait Le, jare Ibu luih menungso Belanda.Mung yo Belanda niku podo ngapus e, alon-alon rampok e. Si Mbah mbiyen nggak iso sekolah merga Landa (Pahit, kata Ibu lebih manusiawi Belanda. Tapi Belanda juga pembohong, pelan-pelan jadi rampok. Saya dulu tidak bisa bersekolah karena dilarang Belanda),” lanjutnya sekaligus mengakhiri pembicaraan.
Pengalaman pahit lainnya dirasakan Mbah Amad (80) warga Dusun Nglaban, Gentan. Waktu itu ia masih berusia sekitar 9 tahun ketika dua kakaknya dipaksa masuk kampetai. Ketika dua kakaknya tak ada di rumah, terpaksa ia bersama ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga dengan menjual ternak ke pasar.
“Mas ku mlebu tentara Jepang. Yen ra gelem ditembak, le. Terus aku sing dodolan kambing. Tak gendong, mlaku le. (Kakak masuk tentara Jepang. Kalau tidak mau, ditembak. Lalu aku yang harus jualan kambing. Saya gendong, jalan kaki),” cerita Mbah Amad.
Mbah Amad, yang tinggal berdua dengan ayahnya mengaku beruntung kala itu tidak jadi romusha. Barangkali Jepang melihatnya sebagai anak perempuan kurus yang akan sia-sia jika jadi romusha. Namun banyak tetangganya yang dijadikan romusha dan hingga kini tidak pernah ditemuinya lagi.
“Aku syukur kagem Gusti Allah Le, ra dadi romusha. Bapakku yo selamet. Mung tonggoku akeh seng dadi romusha. Ora ono sing muleh. (Aku bersyukur pada Allah nggak jadi romusha. Tapi tetanggaku banyak yang jadi romusha. Tidak ada yang kembali), ceritanya.