Bedah Buku
Membincang Dayak di Jogjakarta
Jogjakarta adalah Indonesia kecil. Ratusan kebudayaan, suku, ras, agama, dan politik identitas kedaerahan bertemu dan saling bernegosiasi. Demikian pula kebudayaan suku dayak dari Kalimantan. Sejumlah mahasiswa daerah yang membawa kebudayaan dayak ke Jogja makin mempertegas posisi Jogjakarta sebagai kota budaya.
Hal itu pula yang membuat Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si meluncurkan sekaligus membedah buku yang menceritakan kebudayaan masyarakat dayak di Jogjakarta. Buku berjudul Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas ini didiskusikan kemarin, Kamis (8/5) di UGM. Dipaparkan dalam bukunya bahwa masyarakat dayak memiliki ikatan emosional yang kuat satu sama lain. Ikatan emosional ini digunakan bersama-sama untuk mencapai kesejahteraan.
“Ikatan emosional di antara mereka semakin erat dan kuat. Ikatan komunal Dayak yang erat dibuktikan dengan munculnya identitas kelompok dimana Dayak mengasosiasikan diri dengan agama Kristiani. Apabila anggota kelompok mereka memeluk agama Islam, dia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari etnis Dayak. Politik identitas muncul sebagai cara bagi masyarakat Dayak untuk mencapai kesejahteraan”, ujarnya.
Namun sejumlah pandangan negatif kerap disematkan oleh orang-orang yang tidak kenal dekat dengan suku dayak. Suku dayak, kata Sri, kerap dinilai punya sifat dan perilaku pemalas. Sri mengurai alasan mengapa banyak pandangan negatf yang disematkan pada suku dayak. Menurutnya, penyematan itu disengaja untuk memarjinalkan suku dayak.
“Etnis Dayak adalah etnis yang pendiam, halus, dan cenderung introvert. Mereka menjadi masyarakat inferior karena dianggap sebagai kuli, pemalas, dan tidak produktif. Karenanya cenderung termarjinalkan dan didiskriminasi. Hal ini membuat mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak,” paparnya.
Sementara itu, terkait politik identitas yang ada dalam suku dayak, Abdul Gaffar Karim, M.A, dari Fisipol UGM yang juga menjadi narasumber membenarkan bahwa suku dayak kerap dimarjinalisasi. Peminggiran ini sudah dilakukan sejak zaman kolonial. “Batas alamiah dari politik identitas adalah masalah kesejahteraan. Isu identitas tidak akan muncul apabila tidak ada marjinalisasi terhadap identitas tertentu,” jelasnya.
Buku ini sendiri merupakan hasil riset yang panjang di Kalimantan Barat. Penulis melakukan penelitian di lima kabupaten di Kalimantan Barat, yakni Kabupaten Landak, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan Sekadau.