Jogjapedia
Partai Islam di Jogjakarta Dari Pemilu ke Pemilu
Jogjakarta sebagai “sekutu” aktif pemerintahan Republik Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan, memiliki kisah politik tersendiri. Sejak pemilu nasional yang digulirkan pada tahun 1955 silam, Jogjakarta telah menampakkan kiblat ideologi yang dianut. Seperti yang dituliskan Kedaulatan Rakyat, edisi 26 September 1955, secara gamblang, kaum nasionalis (abangan) tercerminkan melalui dominasi Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sedangkan partai berbasis massa Islam seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), pada waktu itu hanya berada di urutan keempat pemerolehan suara terbanyak, tertinggal dari partai-partai yang dimiliki oleh para priyayi dan kaum bangsawan tersebut.
Kisah tersebut kemudian berlanjut pada putaran pemilu berikutnya, yakni pada tahun 1971. Meskipun situasinya telah jauh berbeda dibandingkan pemilu sebelumnya, mulai dari kemunculan rezim Orba, hingga peleburan peserta pemilu menjadi 10 partai, sembilan di antaranya lolos melalui proses verifikasi, serta satu organisasi massa (yang tidak ingin disebut sebagai partai) yang menamakan diri sebagai Golongan Karya (Golkar). Kemunculan Golkar sebagai pemain debutan pada pemilu kali itu, langsung ditandai dengan dominasi perolehan suaranya.
Di tingkatan nasional, Golkar meraih suara sebanyak 62,82%, jauh mengungguli sembilan partai lainnya. Di Jogja sendiri, Golkar menjadi pemuncak klasemen akhir dengan perolehan 737.162 suara di atas rival terdekatnya PNI dengan 119.918 suara di posisi kedua.
Lantas kemana gaung partai-partai berbasis Islam di Bumi Mataram dikumandangkan? Menurut data Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Jogja, hasil perolehan suara di Jogjakarta pada waktu itu membuat sejumlah partai yang memeroleh suara rendah—termasuk partai berbasis agama, menjadi terhimpit. Guna memenuhi persyaratan untuk melenggangkian perwakilnya di DPRD I, sejumlah partai melakukan penggabungan suara (stembus accord). Langkah itulah yang diambil oleh Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) cabang Kulon Progo dengan Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, dan Partai Islam Perti yang juga berasal dari cabang Kulon Progo.
Melompat ke pasca reformasi, keruntuhan pemerintahan tiran Soeharto membuka jalan bagi Partai Demokrasi Iindonesia-Perjuangan (PDI-P) untuk menancapkan kekuasaannya di Pemilu 1999. Hal tersebut berbanding lurus dengan perolehan suara PDI-P di level nasional. Keadaan ini tidak banyak berubah pada pemilu-pemilu setelahnya pada tahun 2004 dan 2009. Dominasi PDI-P sebagai representasi partai nasionalis hanya mampu digoyahkan oleh Partai Demokrat (partai nasionalis lainnya).
Label wilayah nasionalis tidak serta-merta menyiutkan taji partai-partai berbasis Islam. Dominasi partai berhaluan nasionalis di Jogjakarta, dibayang-bayangi oleh kehadiran Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dua diantaranya, PAN dan PKS jelas-jelas telah menjelma menjadi pesaing pemilu yang sangat diperhitungkan.
Partai-partai Islam ketika itu hadir sebagai pilihan lain tatkala konstituen muslim mendapati kekecewaan mendalam dengan partai nasionalis. Hal itu dibuktikan dari perolehan suara PAN dan PKS yang melonjak signifikan pada Pemilu 1999. Untuk PAN, tentunya hal ini tidak lepas dari ketokohan Amien Rais yang menjadi pahlawan reformasi dengan menggulikan pemerintahan Orba.
Konsistensi itu ditunjukan lagi oleh keduanya saat Pemilu 2004. Meskipun cenderung tetap, perolehan suara kedua partai berbasis massa Islam ini tidak lepas dari penurunan suara PDI-P dan Partai Golkar di pemilu periode itu.