Jogjapedia
Perjalanan Seragam Sekolah di Jawa (Bagian dua)
Ketika Sukarno membentuk PNI, ia menyerukan pada seluruh anggota agar meninggalkan budaya feodalisme. Salah satunya adalah tidak lagi memakai pakaian yang menunjukan adanya identitas feodal, seperti sarung dan lain sebagainya. Tapi, seruannya ditolak oleh sebagian anggota, terutama Ali Sastroamidjojo. Saat masuk Partindo pada 1930an, barulah seruannya dilaksanakan.
Seruan ini memang magis. Segera saja orang-orang mulai berpakaian seperti laiknya yang diserukan Sukarno. Namun, sekolah rakyat yang diisi oleh kaum pribumi tidak semuanya bisa membeli pakaian seperti model Sukarno. Masih ada yang cuma memakai celana dan baju seadanya, juga blangkon.
Sedangkan pakaian sekolah bagi anak-anak priyayi yang bersekolah di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial biasanya memakai pakaian gaya Eropa, rok dan blouse bagi perempuan serta kemeja dan celana pendek atau panjang bagi laki-laku. Pakaian guru-guru di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial kebanyakan menggunakan pakaian Eropa dengan kemeja dan celana panjang bersepatu.
Penyeragaman berpakaian massif ketika era kemerdekaan. Pada tahun 1950an, sebagian besar anak-anak sekolah memakai seragam hitam-putih. Penyeragaman ini dilakukan setelah adanya seruan bahwa untuk berpakaian yang rapi yang melambangkan intelektualistas tiap pemakai. Kalangan pejabat Orde Lama diwajibkan memakai jas dan berdasi saat pertemuan. Para pelajar pun diminta rapi dalam berpakaian di sekolah. Paska kemerdekaan, penyeragaman dilakukan dengan indikator kerapian, namun belum menyeragamkan pakaian sekolah di sejumlah sekolah.
Pasca penggulingan Orde Lama oleh militer AD yang diduga melibatkan CIA dan Soeharto (sejumlah tokoh CIA sendiri pernah membeberkan ini seperti Howard P.Jones dll) pendidikan belum menjadi fokus dari pemerintah. Mereka berfokus dulu pada stabilitasi politik, ekonomi, dan keamanan dalam negeri. Juga berfokus pada penghapusan memori kolektif masyarakat atas Sukarno. Sejumlah sekolah negeri pun membuat kebijakan sendiri atas penyeragaman berpakaian sebagai identitas sekolah.
SMA 1 Jogjakarta, atau yang dikenal sebagai SMA Teladan terkenal dengan seragam putih-abu-abu. Sedangkan yang lainnya, juga memakai atasan putih, namun warna celananya berbeda. Ada yang cokelat, merah, dan lain sebagainya. Kebebasan seragam yang ditentukan sekolah milai mengalami perubahan ketika sejumlah propaganda yang dimasukan dalam wacana pendidikan muncul tahun 80an.
Hal ini bisa dilacak ketika pada 3 Agustus 1981, muncul artikel berjudul Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara di Sinar Harapan. Artikel ini ditulis Nugroho Notosusanto yang ketika itu sebagai Kepala Pusat Sejarah Militer ABRI. Dalam artikelnya, Nugroho menuliskan bahwa Sukarno bukan orang pertama yang merumuskan Pancasila. Soeharto kemudian menghapus peringatan lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni, dan melarang semua bentuk peringatan pada tanggal itu. Lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan artikel itu menjadi sebuah booklet 69 halaman yang dijadikan bacaan wajib bagi para guru pengajar pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Dan akhirnya pada tahun 1982, Orba, melalui SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah nomor 52, tanggal 17 Maret 1982 mengatur tentang penyeragaman pakaian sekolah negeri. SD memakai seragam berwarna merah-putih, SMP dengan putih-biru, dan SMA dengan putih-abu-abu.