Sejarah Warga Tionghoa di Jogja (Bagian Kedua)
Setahun sebelum gempa, tepatnya 6 Juni 1866 Pemerintah Hindia-Belanda membikin peraturan tentang pembagian wilayah pemukiman dalam tata ruang kota bernama wijkenstelsel. Peraturan ini mengatur mengenai pemusatan pemukiman terhadap penduduk asing di Jogjakakarta. Tiap etnik wajib membikin pemukiman yang berisikan etniknya sendiri.
Kampung Eropa, yang sebagian besar dihuni warga Belanda mendiami daerah Kota Baru di Loji kecil. Sedangkan kampung tionghoa di tempatkan di daerah utara Tugu (sekarang jalan A.M.Sangaji).Mereka membangun pemukiman yang berbeda dengan kampung etnik lainnya. Bangunan yang mereka buat berdasar pada ilmu nenek moyang. Teknik pembangunan rumah ini membikin mereka minimalisir korban gempa (lihat Sejarah Warga Tionghoa di Jogja: Bagian Pertama).
Setelah Gempa, penduduk Tionghoa, yang sudah tidak memburuh pada Belanda mulai menjadi salah satu pusat ekonomi di Jogja. Mereka menghidupkan sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Pasar Kranggan. Keadaan ini bertahan hingga pertengahan 1940an. Tahun tersebut juga menjadi tahun berjayanya penduduk Tionghoa di Jogjakarta. Salah satu buktinya adalah dilindunginya mereka oleh pejabat penting Belanda. Mereka mendapatkan hak istimewa lewat Undang-Undang Keluarga Belanda. UU ini memberi jaminan keamanan bagi penduduk Tionghoa untuk menjalankan transaksi dagang.
Hak istimewa ini diberikan karena pedagang Tionghoa membayar pajak lebih besar daripada pribumi atau pedagang lainnya. Pembayaran pajak yang lebih besar ini adalah bentuk suap pada pemerintah Belanda karena perdagangan opium yang dilakukan oleh penduduk Tionghoa di Jawa, tidak terkecuali Jogja. Hal ini pula yang membikin mereka dekat dengan pemerintah dan kerabat Keraton yang memungkinkan mereka mendirika banyak kampung lain.