Jogjapedia
Sri Sultan HB IX Pernah Membuat Sukarno Menangis
Orang-orang barangkali bakal selalu mengingat pertemuan terakhir Sukarno dengan Hatta, sehari sebelum ia wafat. Swadesta Arya dalam Soekarno: Dipuja, Dibunuh, Dikenang mencatat bagaimana keduanya bertangisan setelah Hatta menanyakan kabar Sukarno dalam bahasa Belanda. Tak ada lagi yang tersisa dari mereka dalam ruang sempit rumah sakit tersebut.
Momen itu sebenarnya bukan kali pertama Sukarno menangis di depan sahabatnya. Jauh sebelum ia dizalimi oleh bangsanya sendiri, air matanya juga pernah tumpah di depan para sahabatnya.
Kisah ini dimulai Ibu Kota dipindahkan ke Jogjakarta karena agresi militer Belanda. Sri Sultan, pada 2 Januari 1946 mengirimkan kurir ke Jakarta dan mengusulkan pada Sukarno perihal pemindahan Ibu Kota. Pesan ini diterima Soekarno dan sebagaimana yang dituliskan Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia meyetujui pemindahan tersebut.
“”Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak,” kata Sukarno.
Jogja mempertahankan Sukarno-Hatta mati-matian. Semua biaya operasional untuk menjalankan roda pemerintahan, misalnya kesehatan, pendidikan, militer, dan pegawai, saat itu dibiayai Kraton. Namun pada akhirnya Belanda masuk ke Jogja dan mendapatkan Sukarno-Hatta. Mereka diasingkan. Perebutan kemerdekaan pada 1 Maret 1949 yang diprakarsai Sultan HB IX mengembalikan merah putih pada tempat yang tertinggi. Sukarno pun kembali dari pengasingan dan kembali ke Jogjakarta.
Desember 1949, Sukarno dikukuhkan sebagai presiden di Kraton Jogja. Sebagai presiden yang baru saja dikukuhkan, Sukarno memiliki tugas memulihkan negara yang dalam keadaan compang-camping. Tampaknya Sultan tahu betul isi kepala Sukarno. Setelah pengukuhan, Sultan tiba-tiba menyerahkan selembar cek senilai 6 juta gulden pada Sukarno.
“Jogjakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan di Jakarta,” kata Sultan saat memberikan cek pada Sukarno.
Momen yang cukup memilukan itu membuat pandangan Sultan dan Sukarno kabur. Sultan tak sanggup lagi menahan air mata. Pun dengan Sukarno yang saat menerima cek itu menangis di hadapan Sultan dan hadirin lainnya. Sukarno tak tahu harus berkata apa lagi.