Jogjapedia
Wereng Saketi Tresno, Ketika Cinta Begitu Menyakitkan Bagi Raja Kraton
Tiap Raja Kraton umumnya punya gelar yang cukup banyak. Salah satu gelar disematkan ketika mereka wafat. Penyematan itu diberikan dengan melihat di mana, kebiasaan, atau bagaimana mereka wafat. Seperti Sri Sultan Hamengkubuwono XI yang bergelar Sedha ing Washington karena wafat di kota Washington, AS. Ada pula Sri Sultan Hamengkubuwono II yang bergelar Sedha ing Banguntapan karena membangun pertapaan di sana.
Dari sekian gelar Raja Kraton ketika wafat, Sultan HB V memiliki gelar yang cukup memilukan. Wereng Saketi Tresno, gelarnya, yang berarti mati di tangan orang yang dicintai. Pada 1855, Sultan meregang nyawa setelah ditikam oleh Kanjeng Mas Hemawati, istri ke-5 HB V. Kematian HB V meninggalkan duka bagi keluarganya, khususnya permaisuri. Tiga bulan setelah peristiwa itu, Permaisuri HB V juga wafat karena sakit berkepanjangan.
Kisah Sultan HB V memang cukup memilukan. Sultan, yang lahir pada 1821 dibesarkan dengan welas asih di lingkungan Kraton. Hal ini menjadikannya seorang raja yang penyayang. Ia menyayangi rakyatnya, kerabat, sekaligus para istrinya. Namun, sikapnya yang penyayang itu ditafsirkan dengan cara yang berbeda oleh orang-orang yang dicintainya.
Ia punya kemiripan dengan Sukarno dalam konteks politik. Sukarno tidak mengangkat senjata ketika Jepang datang ke nusantara, melainkan bernegosiasi dan memanfaatkan Dai Nippon. Tujuannya agar rakyat tidak banyak yang mati sia-sia di depan moncong senjata Jepang. Begitu juga Sultan HB V, kecintaannya pada rakyat dan kerabat membuatnya enggan mengangkat senjata melawan Belanda. Sama sepeti Sukarno, ia berkompromi pada Belanda agar rakyat dan kerabatnya tidak jadi korban senapan Belanda.
Kebijakannya itu ternyata ditafsirkan berbeda oleh sejumlah pejabat Kraton terutama adiknya, RM Ariojoyo yang kelak menjadi Sultan HB VI. HB V atau Pangeran Mangkubumi dituduh pengecut oleh adiknya karena tidak melakukan perlawanan secara represif. Tapi bisa dikatakan yang dilakukan Ariojoyo kala itu juga berdasarkan kecintaan yang sama pada kerabat Kraton dan rakyat.
Ariojoyo mempersunting putri Kerajaan Brunei dan mendapat bantuan kekuatan militer. Di dalam Kraton, banyak pejabat yang berpaling dari HB V, termasuk istri ke-5 yang menikamnya. Hanya rakyat yang masih setia karena merasakan dampak keputusannya yang berkompromi dengan Belanda.
Namun dukungan rakyat tak mampu mencegah konflik internal dalam Kraton. Hingga pada akhirnya, ia meregang nyawa setelah lebih dulu ditinggalkan orang-orang kepercayaanya. Dinding Kraton menjadi penyaksi bagaimana ia ditinggalkan orang-orang yang dicintainya. Dinding Kraton menjadi penyaksi bagaimana istrinya mencabut nyawanya. Cinta, bagi HB V, barangkali adalah anugerah sekaligus jalan kematiannya.