Home » Olahraga » Memoar Piala Dunia 2014: Sebuah Pentas Obituari “Tiki-Taka”

Sepakbola

Memoar Piala Dunia 2014: Sebuah Pentas Obituari “Tiki-Taka”



Istimewa

Belum ada sepekan Piala Dunia 2014 berlangsung, Spanyol sudah membuat dua “kejutan” bagi penggila sepak bola di planet ini. Pertama, ketika banyak pengamat meramalkan pertandingan akan berjalan seru, Spanyol justru bermain anti-klimaks dibantai Belanda 1-5 pada pertandingan perdana grup B. Kedua, dianggap akan mampu bangkit di pertandingan berikutnya, Spanyol justru kalah kembali dari Chile 0-2 di Stadion Maracana.

Hasil yang praktis membuat Spanyol menjadi tim kedua setelah Australia, yang sudah dipastikan akan angkat koper dari Brasil—bahkan—sebelum pertandingan terakhir mereka berlangsung. Ironisnya, kekalahan ini didapat dari dua tim yang di Piala Dunia empat tahun lalu pernah ditaklukkan Spanyol. Chile di babak grup dengan skor 2-1 waktu itu dan Belanda di babak final atas gol tunggal Andreas Iniesta.

Stadion Maracana seolah menjadi mimpi buruk bagi Iker Casilass dkk, di final Piala Konfederasi 2013 lalu, mereka hancur 0-3 dari Brasil, dan malam kemarin stadion ini kembali menjadi saksi keikutsertaan sang juara bertahan di Piala Dunia berakhir. Kekalahan yang diratapi karena benar-benar di luar dugaan, terutama oleh Vicente Del Bosque, pelatih Spanyol sendiri.

“Jika saya berpikir tentang 25 hari yang kami habiskan bersama, pekerjaan yang kami lakukan, cara skuad ini membuktikan diri, dan komitmen yang ditunjukkan para pemain, saya tidak akan pernah menyangka bahwa kami bisa keluar (dari turnamen) di tahap awal,” ujar Del Bosque kepada The Guardian.

Tiki-Taka dan Spanyol

Kekalahan Spanyol melawan Chile sekaligus menandai runtuhnya dominasi “tiki-taka” selama enam tahun terakhir. Taktik yang dicetuskan oleh Luis Aragones ini sempat begitu populer dan menjadi perhatian seluruh penggila sepakbola karena menuai hasil yang menakjubkan dalam debutnya di Piala Eropa 2008. Spanyol begitu dominan sepanjang turnamen dan menjadi juara dengan penuh gaya.

Uniknya, jika mau menengok agak ke belakang, istilah “tiki-taka” sendiri muncul—justru—sebelum skema permainan ini “resmi” muncul. Adalah Andres Montes dalam komentarnya untuk stasiun televisi LaSexta pada dua tahun sebelum Piala Eropa 2008, “kedapatan” mengucapkan frasa itu kala pemain Spanyol sukses melakukan umpan satu-dua. “Estamos tocando tiqui-taca, tiqui-taca,” ujarnya saat mengomentari pertandingan Spanyol dengan Tunisia di babak grup Piala Dunia 2006 di Jerman.

Pada Piala Dunia tersebut, Spanyol harus kalah 1-3 dari Perancis di perdelapanfinal. Selama dua tahun sejak kekalahan dari Zinedine Zidane dkk di ajang Piala Dunia. Aragones berpikir keras guna mendapatkan formulasi yang tepat untuk mengatasi kekurangan kekuatan fisik pemain Spanyol.

“Mereka (Spanyol) tidak cukup kuat secara fisik dan tidak cukup tangguh untuk adu otot dengan lawan, sebagai gantinya mereka lebih berkonsentrasi dalam penguasaan bola,” tulis Raphael Honigstein, wartawan The Guardian dalam kolomnya.

Ya, Aragones menemukan jawabannya, dengan penguasaan bola mutlak melalui umpan-umpan pendek yang sederhana dan minim kesalahan. Artinya, bermain umpan “tik-tak” antar pemain tanpa perlu berlama-lama menggiring bola. Permainan yang kemudian dikenal dengan sebutan; “tiki-taka”.

Dengan penguasaan bola dan permainan yang mendominasi, Spanyol menjelma menjadi kekuatan baru sepakbola Eropa yang begitu ditakuti dan disegani. Dua tahun kemudian, di bawah asuhan Vicente Del Bosque, Spanyol melebarkan dominasinya ke seluruh penjuru dunia dengan menjuarai Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Sampai pada titik ini, gelar Spanyol lengkap sudah.

Meski sudah berprestasi banyak, Spanyol seperti belum puas. Dua tahun berikutnya “Tim Matador” tetap menggila di Piala Eropa 2012. Kembali juara setelah mengandaskan perlawanan Italia di final tanpa ampun dengan skor telak 4-0. Memecahkan rekor sebagai negara pertama yang mampu mempertahankan gelar juara Piala Eropa. Sebuah prestasi yang menjadikan Spanyol hattrick gelar mayor turnamen sepakbola. Rekor baru yang kembali tercipta.

Sayangnya, dominasi Spanyol tidak berlaku di pentas Piala Dunia. Dan setelah enam tahun menguasai dunia, superioritas Spanyol berhenti juga di tahun ini.

Sulitnya Mempertahankan Gelar Juara

Kegagalan Spanyol mempertahankan gelar juara, meneruskan tradisi bahwa Piala Dunia “hampir” selalu gagal dipertahankan oleh sang juara bertahan. Masih begitu lekat dalam ingatan, di Piala Dunia 2010 Italia harus angkat koper lebih dini. Kalah 2-3 dari Slovakia di pertandingan terakhir babak grup F. Juara bertahan Piala Dunia 2006 ini tak bisa berbuat banyak. Mundur lagi ke belakang, Brasil sang juara bertahan 2002, harus kandas dari Perancis 0-1 di perempatfinal Piala Dunia 2006 di Jerman.

Begitu seterusnya terjadi hal yang sama sampai pada Piala Dunia 1962. Di mana saat itu Brasil yang masih diperkuat Pele menjadi tim terakhir yang berhasil mempertahankan gelar juara dunia tahun 1958. Hal yang sama juga dilakukan Italia pada gelaran Piala Dunia 1938. Di mana negara yang masih dipimpin kekuatan fasis Benitto Mussolini kala itu berhasil mempertahankan gelar empat tahun sebelumnya. Dan sebagai catatan, kedua negara ini juga berada di posisi terdepan dalam jumlah gelar juara dunia (Brasil lima kali, Italia empat kali) dari negara manapun di dunia.

Kegagalan Spanyol kembali mempertahankan gelar juara sejatinya memang sudah diprediksi banyak pihak. Belum ada tim Eropa yang mampu juara di Benua Amerika membuat Spanyol dianggap hanya merupakan unggulan setelah Brasil sebagai tuan rumah. Walaupun begitu, tetap tidak ada yang berani menduga bahwa Spanyol harus pulang secepat ini. Kepastian gugur ketika mereka masih menyisakan satu pertandingan terakhir di babak penyisihan grup. Benar-benar jadi noda yang merusak nama besar Spanyol.

Dominan dan Runtuh Bersama Barcelona

Tidak hanya dari faktor sejarah, kegagalan Spanyol sejatinya juga memiliki benang merah dengan kegagalan FC Barcelona pada musim lalu yang harus puasa gelar untuk pertama kalinya sejak enam tahun terakhir.

Sejak ditinggalkan Frank Rijkaard di akhir musim 2007/2008, untuk kemudian digantikan oleh Josep Guardiola, Barcelona seolah mengamuk dengan menggondol seluruh gelar yang bisa diraih dalam satu musim kompetisi penuh. Prestasi yang seolah meneruskan peforma apik dari timnas Spanyol di Piala Eropa 2008.

Hebatnya, Barcelona melakukannya dengan penuh gaya seperti Spanyol. Mengadopsi cara-cara Aragones dalam memoles timnas Spanyol dan mengkombinasikan dengan style “Total Football” yang sudah menjadi embrio klub ini sejak era Johan Cruyff.

Selain sukses menciptakan—salah satu—klub terbaik yang pernah lahir di muka bumi, Guardiola juga berhasil melekatkan “tiki-taka” dalam identitas permainan Barcelona, sekaligus meneruskan warisan Aragones dalam identitas permainan untuk tim nasional Spanyol. Seperti “Total Football” Ajax Amsterdam era 1965-1971 yang kemudian menjadi trademark Belanda dan “Catenaccio” Inter Milan era 1960-an yang diidentikkan dengan timnas Italia.

Setelah enam tahun berkuasa di Eropa dan Spanyol, beberapa bulan sebelum Piala Dunia digelar akhirnya Barcelona memasuki titik terendah. “Ini adalah akhir dari sebuah era yang tidak akan pernah disaksikan orang lagi, segalanya sudah berakhir,” ujar Javier Mascherano, sesaat setelah pertandingan pamungkas Barcelona di Liga Spanyol yang akhirnya dimenangi Atletico Madrid.

“Tiki-taka” yang pernah mewarnai wacana taktik sepakbola dan mendominasinya dengan begitu digdaya, telah memasuki fase tutup buku. Ketika sudah banyak tim nasional dan klub yang berhasil menemukan formulasi yang tepat untuk menjinakkan “tiki-taka”, maka sebuah “kematian” ini harusnya tidak terlalu diratapi.

Karena, paling tidak, kita termasuk generasi yang cukup beruntung bisa menjadi saksi tiki-taka yang más que una simple táctica, lebih dari sekedar taktik, pernah hidup dan dimainkan dengan begitu menawan oleh—meminjam slogan Barcelona; més que un club, lebih dari sekedar klub seperti tim nasional Spanyol.

Facebook Twitter Share on Google+