Olahraga
Persipura, Jembatan Penghubung Pantai dan Gunung
Sebelumnya tidak ada yang memprediksi bahwa nama Persipura Jayapura akan menjadi salah satu tonggak sepak bola modern di Indonesia. Nama-nama klub seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema Malang (sebelum ganti nama menjadi Arema Indonesia) adalah klub-klub yang didaulat sebagai bapak sepak bola modern. Tapi nyatanya di tahun 2005 Persipura muncul untuk menjungkirbalikan semua prediksi itu.
Ya, Persipura mengakhiri kompetisi Liga Indonesia 2005 dengan keluar sebagai juara. Sebuah prestasi yang membanggakan, mengingat Persipura sendiri berasal dari daerah yang selama ini sering dibilang tertinggal, Papua. Selain berhasil mengalahkan ‘sang tuan rumah’ Persija Jakarta di final yang dihelat di Stadion Utama Gelora Bung Karno, bisa dikatakan ini sebagai titik awal di mana sepak bola modern di Indonesia dimulai.
Setelah meraih kampiun pertamanya, Persipura terus melanjutkan dominasinya di kancah sepak bola tanah air. Tercatat Persipura telah mengoleksi empat gelar Liga Indonesia. Empat bintang disematkan di atas logo kebesaran Persipura di jersey merah-hitam kebanggaan masyarakat Papua.
Pun demikian di kancah sepak bola Asia. Keberhasilan Persipura menembus fase semi final AFC Cup 2014 dengan mengalahkan juara bertahan SC Kuwait di perempat final dengan skor fantastis menjadi sebuah tolak ukur yang patut diapresiasi oleh seluruh pecinta sepak bola tanah air. Setidaknya dengan lolos ke fase semi final, Persipura sudah memberikan titik terang akan kemajuan sepak bola tanah air.
Maklumi saja, level kekecewaan dan haus prestasi yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia dengan sepak bola sudah terlampau kritis. Dan Persipura hadir untuk menuntaskan dahaga itu.
Yang menarik dari sepak bola selain otot-otot kekar pria yang berlari mengejar bola di tengah lapangan adalah kultur rivalitas kewilayahan. Baik dari rivalitas antar suku, ras, agama, wilayah bahkan sampai ranah politik. Dan berbicara soal rivalitas dalam aspek wilayah, di Papua sendiri banyak pihak yang mengklaim bahwa Papua tidak hanya satu, melainkan dua, yaitu orang Papua yang berasal dari pantai dan satunya berasal dari gunung.
Persipura sendiri berasal dari daerah yang secara geografis letaknya bersebelahan dengan pantai. Tidak sedikit orang-orang asli Papua yang berasal dari pantai menyematkan diri bahwa Persipura adalah milik orang pantai dan kebanggaan orang pantai. Pun demikian, tidak sedikit orang Papua yang berasal dari gunung juga mengakui bahwa Persipura adalah milik bersama.
Tidak jarang kasus perselisihan antara orang Papua asli pantai dan gunung sering terjadi. Masing-masing saling melabeli diri mereka adalah orang asli Papua. Orang gunung sendiri sering dianggap sebagai biang keladi dari serangkaian aksi yang menjurus kriminal. Ditambah dengan masalah infrastruktur, ekonomi, hingga pendidikan yang masih tertinggal, stigma bahwa orang gunung merupakan warga “nomor dua” bagi orang-orang Papua yang berasal dari pantai kian kuat tertancap.
Orang pantai menyebut diri mereka sebagai orang yang memberikan kontribusi besar dari perkembangan Papua menuju ke arah yang lebih baik. Pendidikan yang cukup, infrastruktur yang tergolong maju dan ekonomi yang mapan membuat orang pantai acap kali membanggakan diri. Dan pada kenyataannya orang gunung yang selama ini memiliki pendidikan yang kurang, memang acap gagal menjadi pemimpin di Papua.
Puncak kemajuan sepak bola sendiri terjadi pada Liga Indonesia musim 2008/2009. Kala itu Papua menempatkan dua wakil terbaiknya untuk bertarung dalam kompetisi tertinggi di tanah air, dengan Persipura keluar sebagai juara, sedangkan Persiwa Wamena berada satu strip di bawah dengan status sebagai runner-up.
Namun, keberhasilan ini tidak melulu dilihat dengan perspektif yang positif. Masih banyak stigma negatif yang mengatakan bahwa Persipura dan Persiwa adalah rival abadi. Persipura mewakili orang pantai, sementara Persiwa mewakili orang gunung. Didasari oleh sumbu rivalitas kewilayahan tersebut, perseteruan kedua tim pun sering terjadi ketika mereka berjumpa dalam derby Papua.
Puncak perseteruan kedua klub terjadi dalam derby Papua yang dihelat pada musim 2006/2007. Kala itu, satu orang penonton tewas saat Persipura menjamu Persiwa Wamena di Stadion Mandala Jayapura. Banyak yang menyebut bahwa tewasnya korban lantaran gesekan antar suporter—dengan suporter Persiwa sebagai pemicunya. Namun, tak sedikit yang menuding ketidakbecusan panitia dalam mengurus antrianlah yang menjadi alasan utama kejadian naas tersebut.
Perseteruan kedua klub kembali terjadi di musim 2009/2010. Kala itu beredar kabar bahwa Persiwa terlibat pengaturan skor kala berhadapan dengan Arema Indonesia di Stadion Pendidikan Wamena. Semua orang tahu, bahwa mustahil bisa mengalahkan Persiwa di kandang mereka. Faktor kondisi cuaca yang dingin membuat tim lawan menjadi susah meraup poin kala bermain di Wamena.
Yang menjadi masalah, di saat bersamaan Persipura berharap Persiwa memenangkan pertandingan, agar bisa keluar sebagai juara. Sayangnya, harapan Persipura kandas setelah Arema berhasil menang tanpa perlawanan dari tim tuan rumah. Kabar ini sontak membuat kubu Persipura menjadi geram dan mengutuk Persiwa yang dianggap sebagai pengkhianat orang Papua.
Kultur rivalitas kewilayahan semacam ini di Papua akhirnya perlahan sirna setelah penampilan cemerlang Persipura. Pelan-pelan, Persipura mulai berperan sebagai jembatan penghubung antara orang dari pantai dengan orang yang berasal dari gunung. Melalui keberhasilan Persipura tersebut, harapannya bukan hanya moral orang Papua terangkat, tetapi semestinya juga dapat menjadi acuan positif bagi klub-klub lain di Papua.
Kini, dengan krisis finansial yang dialami Persiwa sehingga membuat mereka harus turun kasta ke Divisi 1 di musim 2013/2014, harapan orang Papua praktis hanya tertuju pada Persipura. Ya, tanpa menghiraukan peran Persiwa, saat ini satu-satunya harapan orang Papua untuk dipandang sederajat dengan warga Indonesia lain ada di pundak Persipura. Marilah lupakan sejenak rivalitas gunung dan pantai yang selama ini terjadi.
Lagi pula, bukankah saat ini orang pantai memiliki idola baru yang berasal dari gunung bernama Ferinando Pahabol?
Raymond Latumahina
Twitter: @raysistance