Enam Proyek Mubazir di DIY
Banyaknya proyek-proyek pembangunan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ternyata tak sepenuhnya berjalan sukses atau bisa dimanfaatkan secara maksimal. Sedikitnya ada 6 proyek bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah di DIY yang ternyata justru tak bisa maksimal manfaatnya.
Pasar Seni Gabusan
Pasar Seni Gabusan yang terletak di Kabupaten Bantul ini mulai dioperasikan pada tahun 2004. Awalnya Pasar Seni Gabusan ini didesain sebagai sebuah pasar seni yang mirip dengan Pasar Sukowati di Bali. Namun, ternyata harapan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul tersebut hanya angan-angan belaka. Kawasan Pasar Seni Gabusan yang dibangun di lahan seluas 7,5 hektar ini justru sepi pengunjung.
Tak hanya sepi pengunjung, Pasar Seni Gabusan yang dibangun dengan menghabiskan dana sebesar 7 miliar rupiah ini ternyata malah menyedot APBD tanpa memberi masukan dana. Sebagaimana dikutip dari tribunnews.com tanggal (26/09/2012) dalam satu tahun, Pasar Seni Gabusan mendapatkan subsidi dari APBD sebesar 1 miliar rupiah.
Sub Terminal Agribisnis (STA) Tempel Sleman
Mega proyek kabupaten Sleman ini dibangun pada tahun 2002. Pembangunan STA Tempel ini menghabiskan dana sekitar 14 miliar rupiah sia-sia belaka. Bahkan STA Tempel ini hanya pernah sekali digunakan yaitu kala ada ekspor salak pondoh ke Cina, selebihnya selama hampir 7 tahun, STA Tempel tak ada aktifitas apapun.
Sebagaimana dilansir tribunnews.com tanggal (26/11/2012), Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Sleman Slamet Riyadi Martoyo mengaku tak tahu konsep pembangunan tersebut, Namun Slamet menampik bahwa STA Tempel adalah proyek yang gagal.
“Kami tidak menyediakan pasar nyata di STA. Pandangan orang memang masih pasar nyata untuk STA. Padahal kami hanya melayani skala besar untuk eskpor. Sejauh ini STA dapat kami fungsikan sebagai pemasaran. Sedangkan untuk los, kami tak tahu konsepnya dulu seperti apa. Pembangunan STA sudah lama terjadi dan saya tidak tahu seperti apa konsep secara rinci untuk STA,” ujar Slamet.
Taman Kuliner Condong Catur Sleman
Didirikan pada tahun 2007, Taman Kuliner Condong Catur didesain sebagai sebuah sentra wisata kuliner di daerah Sleman. Alih-alih menjadi sentra wisata kuliner, Taman Kuliner Condong Catur justru menjadi sebuah kawasan mati dan sepi pengunjung.
Taman Kuliner Condong Catur yang dibangun di atas tanah seluas 1,5 hektar ini dan menghabiskan dana sekitar 5 miliar rupiah ini sepi pengunjung. Dari 120 kios-kios yang disediakan, kini hanya sekitar 10% saja yang buka. Sebagaimana dilansir dari harianjogja.com, Melani salah satu pemilik kios di Taman Kuliner mengeluhkan sepinya pengunjung. Bahkan setiap harinya Melani hanya mendapatkan keuntungan 30 ribu rupiah. Padahal Melani tiap bulannya harus membayar uang sewa sebesar 500 ribu setiap bulannya.
Kulon Progo Fish Centre (KFC)
Dibangun di atas lahan seluas lebih dari 5.100 meter persegi dan menghabiskan dana miliar rupiah ini sama sekali tidak berfungsi. KFC didirikan pada tahun 2008 dan selama 3 tahun pendiriannya tidak ada aktifitas sama sekali di KFC.
Inisiatif menghidupkan kembali KFC setelah selama 3 tahun tidak ada aktifitas dilakukan oleh Bupati Kulonprogo dr Hasto Wardoyo. Pada tanggal (06/11/2012) Bupati Kulon Progo beserta jajarannya dan anggota DPRD Kulon Progo datang mengunjungi lokasi KFC dan melakukan evaluasi dan peninjauan kembali KFC. Sayangnya hingga kini belum ada aktifitas nyata paska kunjungan Bupati tersebut.
Pasar Seni Sentolo Kulon Progo
Pasar Seni Sentolo dibuat sekitar tahun 2006. Tujuan didirikan adalah untuk mengakomodasi pelaku seni di Kulonprogo sebagai show room. Namun pasar seni yang dibangun dengan dana 1,5 miliar rupiah ini sama sekali tidak berfungsi. Bahkan kini lokasi Pasar Seni Sentolo tak hanya sepi bahkan beberapa bangunannya pun tak layak lagi untuk digunakan.
Pasar Seni dan Kerajinan Yogyakarta (PSKY) XT Square
Di bangun di bekas Terminal Umbulharjo, PSKY XT Square dibangun dalam tiga tahap. Total aset XT Square sekitar Rp 113,6 miliar. Rinciannya, terdiri atas harga tanah lokasi XT Square seluas 18.166 meter per segi seharga Rp 76,6 miliar, bangunan gedung Rp 27,9 miliar, dan sarana pendukung Rp 9,08 miliar.
Sayangnya dana ratusan miliar yang dihabiskan ternyata tak membuat XT Square berfungsi dengan baik. Bahkan. XT Square sempat mangkrak selama 2 tahun sejak rampung dibangun pada tahun 2010. Setelah sempat mangkrak selama 2 tahun, akhirnya di penghujung tahun 2012, XT Square resmi digunakan untuk beraktifitas.