Jogjapedia
Rampogan: Gladiator ala Kraton Jogja
Tradisi Rampogan merupakan salah satu budaya yang saat ini jarang diketahui oleh masyarakat umum. Tradisi Rampogan pada abad ke 18 hingga abad ke 19 merupakan tradisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Pasalnya, tradisi Rampogan menampilkan sebuah permainan yang menegangkan bagi para penontonnya. Dalam tradisi Rampogan ini masyarakat disuguhi tontonan adu ketangkasan dan keberanian antara para prajurit Kraton Jogja melawan macan.
Menurut etimologi, Rampogan memiliki arti rayahan atau rebutan. Hal ini tak lepas dari bagaimana para prajurit Kraton beramai-ramai menjarah atau rebutan seekor macan untuk dibunuh dengan tombak, pedang ataupun senjata tajam lainnya.
Tradisi Rampogan ini biasanya diadakan di Alun-alun Utara. Tradisi ini biasanya diadakan untuk menyambut tamu agung yang akan berkunjung ke Kraton Jogja seperti Gubernur Jendral Hindia Belanda. Pada awalnya, tradisi Rampogan ini merupakan acara untuk mengadu Macan dengan Banteng. Namun seiring berjalannya waktu, Rampogan pun berganti menjadi mengadu Macan dengan para prajurit Kraton.
Rampogan biasanya diadakan pada pagi hari dan puncak acaranya diadakan pada siang hari dengan pertarungan antara Macan dengan Banteng. Macan yang sebelumnya berada di dalam kandang kemudian dibawa ke tengah Alun-alun Utara. Lalu seorang prajurit diperintahkan untuk membuka kandang-kandang tersebut. Prajurit tersebut biasanya sebelum membuka kandang melakukan tarian-tarian semacam tayub. Kadang, saat kandang dibuka, Macan tersebut tidak begiru saja mau keluar. Jika keadaannya seoerti itu makan prajurit yang membuka kandang tersebut mendapatkan tugas tambahan. Tugasnya adalah memaksa Macan keluar dari kandangnya. Biasanya prajurit tersebut akan menusuk-nusukan tombaknya ke Macan supaya Macan mau keluar dari kandang.
Untuk membentengi pergerakan Macan agar tidak keluar dari Alun-alun Utara. Para prajurit Kraton bersiap dengan baju perang dan senjatanya membentuk barikade mengelilingi arena pertarungan. Setelahnya, kemudian Banteng dibawa masuk ke Alun-alun dan siap diadu dengan Macan. Sebelum dibawa ke arena pertarungan, biasanya tubuh Banteng sudah dilumuri dengan larutan cabai rawit agar kepanasan dan mengamuk. Tanduk Banteng pun sebelumnya sudah dikerik supaya menjadi runcing dan bisa membunuh Macan.
Dalam pertarungan tersebut, apabila Macan yang keluar sebagai pemenang, maka para prajurit Kraton pun kemudian memburu atau merayah tubuh Macan yang terluka tersebut. Prajurit-prajurit Kraton ini akan terus memburu dan merayah Macan tersebut hingga mati.
Seiring berjalannya waktu, tradisi Rampogan mulai menghilang di abad ke 19. Ada dua alasan kenapa Rampogan menghilang di abad ke 19. Pertama karena populasi Macan yang jumlahnya makin sedikit. Kedua, karena adanya larangan menggelar Rampogan oleh pemerintah Belanda yang dikeluarkan pada tahun 1905.