Nasional
Negara Cueki Penganut Kepercayaan Lokal
Akhir November lalu DPR mengesahkan Revisi UU Adminstrasi Kependudukan. Namun, revisi undang-undang itu ternyata masih belum menampung aspirasi kelompok aliran kepercayaan dan sejenisnya.
Pada Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan disebutkan, setiap warga negara harus memilih satu di antara lima agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya. Ini dianggap sebagai pembatasan atau tidak adanya kebebasan dalam memeluk agama dan kepercayaan.
Hal tersebut jelas membuat para penganut kepercayaan lokal semisal Sunda wiwitan ataupun kejawen kecewa. Ketua Umum Aliran Kepercayaan Nasional, Andri Hernandi menilai, negara tidak sepatutnya memilah masyarakat berdasarkan golongan agama. Kata dia, agama yang dianut bukanlah esensi dari masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, beberapa waktu lalu Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mempersilahkan para penganut kepercayaan mengosongkan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, hal tersebut menurut Andri bukanlah solusi. “ Kami dianggap komunis bila mengosongkan kolom agama,” jelasnya. Dia menambahkan, para penghayat kepercayaan kerap kerepotan bila mengurus surat kependudukan karena sering ditanya alasan mengosongkan kolom agama.
Selama puluhan tahun, para penganut kepercayaan lokal terpaksa menginduk kepada salah satu agama yang sudah diakui oleh negara. Salah satu penganut aliran penghayat, Yeni Rossa Damayanti menilai para penganut agama samawi seperti Islam dan Kristen selama ini menilai para penganut kepercayaan sebagai orang-orang animisme. “Oleh karena itu, merasa wajib mengubah kepercayaan kami karena mereka menilai kami menyembah berhala,” ujar Yeni.
Padahal, menurut Yeni kepercayaan lokal punya manfaat yang banyak. “Para penganut kepercayaan tiak akan merusak alam sebab mereka sangat mengagungkannya. Mereka menyembah gunung, pohon, dan fenomena alam lainnya,” terang Yeni. Selain itu, kata Yeni para penghayat kepercayaan juga tidak bersikap agresif dan memaksakan kepercayaannya kepada orang lain.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi II DPR RI Chotibul Umam angkat bicara. Chatibul mengaku setuju bila kepercayaan lokal dimasukkan ke dalam kolom agama dalam surat kependudukan seperti KTP. “Tapi di dalam komisi suara saya kalah dari mayoritas,” kilahnya. Dia menilai, negara harus menjamin kepercayaan setiap orang.
Dia menambahkan, dari kacamatanya selama ini watak dari agama-agama besar selalu ingin mengakuisisi agama-agama kecil seperti kepercayaan lokal. Padahal kata dia, tidak akan ada yang dirugikan bila kepercayaan lokal itu tumbuh dan dicantumkan di dalam kolom agama di suerat-surat kependudukan.
Artikel ini sebelumnya disiarkan di program Agama dan Masyarakat KBR68H. Simak siarannya di 89, 2 FM Green Radio, setiap Rabu, pukul 20.00-21.00 WIB