Jogjapedia
Perilaku dan Kehidupan Orang Jawa Abad 18 (Bagian Pertama)
Dalam buku sejarah di sejumlah institusi pendidikan, sudah terlampau banyak yang mengurai sebab kedatangan Belanda ke Indonesia. Umumnya dijelaskan bahwa kedatangan Belanda ke Indonesia, atau tepatnya nusantara, dalam hal ini Pulau Jawa adalah untuk merampas hasil bumi penduduk. Lalu dari sekian banyak perampasan itu melahirkan para pahlawan nusantara.
Namun, para pahlawan yang namanya harum di buku cetak sejarah untuk sejumlah institusi itu sebagian besar merupakan kaum elite atau kelas atas. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang, Sultang Agung, Sultan Ageng, dan banyak lagi yang lainnya. Pemunculan nama-nama pahlawan itu lekat dengan keadaan rakyat Jawa yang sengsara, menderita, dan sekarat karena kedatangan Belanda. Namun, bagaimana keadaan orang Jawa, baik itu secara fisik, psikis, dan sosialnya belum banyak disinggung.
Oleh karena itu dalam tulisan Jogjapedia kali ini akan disinggung sendikit bagaimana Orang Jawa ketika kali pertama Belanda menginjakkan kaki, baik Jawa secara fisik, filosofis, dan sosial yang dirangkum dalam The Island of Java, manuskrip tertua soal Jawa di Eropa yang terbit pada 1811 di Inggris.
Gubuk Orang Jawa
Ketika kali pertama datang ke Pulau Jawa, daerah ini dikuasasi oleh tiga kerajaan besar. Adapun tiga kerajaan tersebut adalah Banten dengan Cirebon sebagai vasalnya, Jaccarta (Jakarta), dan kerajaan milik Susuhunan. Kerajaan Jaccarta sendiri tidak banyak diketahui karena dimusnahkan pada 1619 oleh Belanda.
Pada awalnya Jawa dibilang sebagai daerah yang gersang. Para ahli klimatologi Belanda berkeyakinan bahwa pulau yang terletak di sebelah selatan Khatulistiwa ini tidak layak huni karena panasnya yang sengat menanduskan tanah. Namun ketika mereka (Belanda) merasakan pengubahan cuaca, musim, dan angin, pun dengan laporan adanya temuan rempah dan padi yang melimpah, prediksi ahli klimatologi itu tak lagi dipercaya. Bahkan pada awal abad ke-18, Jawa mendapat julukan Lumbung Timur di Eropa karena menghasilkan banyak padi.
Selain hasil alam, sebagian orang Belanda, dalam hal ini VOC mengamati sifat dan perilaku para pribumi. Dari catatan yang diterima Stockdale, ada gambaran singkat mengenai fisik orang Jawa di awal abad ke-18. Dalam catatan tersebut digambarkan bahwa orang Jawa pada umumnya bertubuh pendek, berkulit cokelat terang dengan dahi lebar, berhidung pesek, dan berambut hitam.
Adapun pakaian pribumi Jawa untuk laki-laki adalah semacam selembar kain katun yang dililitkan pada pinggang yang ujungnya ditarik di antara dua kaki dan diikatkan pada punggung. Dada mereka dibiarkan telanjang kalau tidak memakai penutup kepala. Sedangkan bagi perempuan memakai sepotong kain katun yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi dada. Kadang hanya dibiarkan menjuntai sampai lutut. Pada umumnya perempuan Jawa di abad ke-17 hingga 18 sangat mencintai rambut mereka. Sedangkan anak-anak sebelum 12 tahun tidak malu-malu untuk menanggalkan pakaian saat bermain di luar rumah.
Orang Jawa pada masa ini, masih menurut pengamatan Belanda dalam Island of Java dikenal sederhana. Belanda mengategorikan tempat tinggal pribumi Jawa sebagai gubuk, karena beranggapan tak layak disebut rumah. Rumah pribumi Jawa pada abad kedatangan Belanda terbuat dari anyaman bambu dan diplester dengan tanah liat. Rumah orang Jawa tidak punya daun pintu atau penutup lain. Hanya terdapat satu ruangan dalam rumah. Tak ada kursi dan meja di ruangan dalam rumah. Orang Jawa lebih suka duduk bersila di atas tanah atau tikar. Perabotan pun hanya untuk memasak.
Di dalam rumah kecil itu orang Jawa melakukan semua aktivitas. Mulai dari memasak, bercengkrama dengan keluarga, hingga tidur. Adapun aktivitas yang sering dilihat Belanda pada pribumi saat di santai di rumah adalah menginang, menghisap tembakau dengan pipa, dan bermain gamelan.Dari aktivitas itu kemudian pihak Belanda mulai mencari tahu bagaimana budaya dan sifat orang Jawa.