Home » Berita, Nasional » Mengatur Kampanye Parpol di Media Penyiaran

Mengatur Kampanye Parpol di Media Penyiaran



Setelah KPU mengumumkan sepuluh partai politik (parpol) yang bisa mengikuti Pemilu 2014, kini giliran pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memandang perlu adanya aturan main terkait kampanye atau iklan parpol di media penyiaran, seperti radio dan tivi. Aturan main diperlukan untuk menciptakan keadilan dalam berkampanye, karena adapartai bermodal besar, sehingga bisa leluasa dalam beriklan.

Sebagaimana kita tahu, sejumlah pemimpin partai juga merupakan pemilik media (elektronik), seperti Surya Paloh (Partai Nasdem) dan Aburizal Bakrie (Partai Golkar), karena itu perlu aturan yang fair. Soal kampanye dalam mediaelektronik inilah yang menjadi tema program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Diskusi kali ini mengundang dua narasumber, yaitu Idy Muzayyad (Anggota KPI Pusat), dan Roy Thaniago (peneliti media massa dari Remotivi)

Dalam pengamatan Roy, jauh hari sebelum KPU mengumumkan partai yang lolos, sudah ada parpol yang beriklan di tivi. Itu semakin jelas bila parpol memiliki atau berafiliasi dengan media tertentu. Menurut Roy, iklan parpol di media memang harus diatur, karena media adalah ruang publik. “Karenanya media harus sehat, terlebih ditengah konglomerasimedia seperti sekarang, kita tidak bisa membiarkan media bergerak tanpa aturan, sehingga berpotensi memonopoli ruang publik,” imbuh Roy.

Menurut Idy, soal pembatasan iklan sebenarnya sudah tertuang dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, kemudian diperkuat dengan peraturan KPU Nomer 1 Tahun 2013 tentang pedoman teknis penyelenggaraan kampanye. Salah satu kesepakatan antara KPU dan KPI, kelak akan dibentuk suatu desk penyiaran pemilu. “Menguatkan peraturan dari KPU, KPU akan melarang iklan kampanye parpol pascapenetapan peserta Pemilu sampai nanti tanggal 15 Maret,” tegas Idy.

Bagi Roy, tidak masalah bila media dimiliki kelompok tertentu asalkan mereka sadar bahwa media ini berbeda dari institusi bisnis. Media adalah perangkat sosial. Kita harus bersikap kritis ketika penguasa dan pemodal bersatu, tentang kemungkinan terjadinya praktik menyimpang.

“Ketika frekuensi publik yang dimiliki masyarakat dan dipinjam oleh stasiun tivi menjadi ruang promosi parpol, akan membahayakan ruang publik kita,” ujar Roy.

Menurut Idy, telah muncul keluhan atau masukan dari masyarakat, semisal ada kecenderungan bias dalam mengungkap sebuah peristiwa, ada bagian atau nama yang dikaburkan. Media adalah pilar keempat demokrasi, ketika media digunakan untuk pendidikan politik, penguatan kualitas demokrasi, kembali kepada kampanye.

“Kampanye esensinya adalah pendidikan politik bukan promosi keberadaan parpol, karenanya proporsional itu yang ditekankan,” jelas Idy.

Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Pilar Demokrasi KBR68H. Simak siarannya setiap Senin, pukul 20.00-21.00 WIB di 89,2 FM Green Radio

Facebook Twitter Share on Google+